BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang
berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi
pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI
AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa
G30S/PKI.
B. Rumusan masalah
1.
Apa sebab terjadinya
G30S/PKI?
2.
Bagaimana proses
terjadinya peristiwa G30S/PKI?
3.
Bagaimana proses
Penumpasan G 30S/PKI?
4.
Bagaimana Proses
Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI?
C. Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui sebab
terjadinya G30S/PKI.
2.
Untuk mengetahui proses
pelaksanaan G30S/PKI dan proses penumpasan G30S/PKI.
3.
Untuk menambah
pengetahuan dan wawasan para siswa tentang G30S/PKI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peristiwa
G30S/PKI
Peristiwa
G30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI,
bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini
menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral AD.
Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak laporan pertanggungjawaban
Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini,
maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang berazaskan kepada Pancasila dan UUD
1945.
B. Sebab-sebab G30S/PKI
a.
PKI merupakan partai
terbesar di Indonesia
Dengan
melakukan pendekatan kepada kaum borguis, PKI berhasil menarik anggota cukup
besar, tercatat pada tahun 1965, anggota PKI sudah mencapai 3,5 juta. Hal ini
membuat PKI menjadi partai yang besar dan kuat.
PKI
melakukan beberapa cara untuk mengembangkan diri, antara lain :
·
Melakukan gerakan
gerilia di pedesaan dan melakuan propaganda-propaganda menyesatkan.
·
Melakukan gerakan
revosioner oleh kaum buruh di perkotaan.
·
Membentukan pekerja
intensif dikalangan ABRI.
·
Menyusup ke berbagai
organisasi lain untuk mentransparansikan organisasi PKI.
·
Mendekati Presiden
Soekarno.
b.
Politik luar negeri
Indonesia yang lebih condong pada blok timur
Pada
masa demokrasi terpimpin, Indonesia menganut politik NEFO, sehingga PKI dapat
memperoleh dukungan dari Cina dan Unisoviet.
c.
Konsep Naskom
(Nasionalis, Agama, Komunis)
Dengan
konsep ini, PKI dapat memperkuat kedudukannya di Indonesia, sehingga PKI
memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mengadakan aksi kudeta.
C.
Sejarah
singkat pemberontakan PKI
Peristiwa
Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos yang
terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali
dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18
September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia
dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada
saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun
Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan
pemberontakan PKI.
Bersamaan
dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik
itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat
dan agama.
Masih
ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI
yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru
(dan sebagian pelaku Orde Lama).
D.
Tawaran
bantuan dari Belanda
Pada
awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk
menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh
pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan
memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk
melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia.
Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun
kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai
organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan
sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai
Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain
Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk,
Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan
sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari
kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko
Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto
(Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III,
dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief
dan Kapten Untung Samsuri.
Pada
bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari
Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera
menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi
sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir
Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi
saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan,
bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin
agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal
10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan
mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang
tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi
dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa
pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol.
Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah
alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok
kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat
untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S.
Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan,
bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka
negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti
layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam
memerangi komunis di seluruh dunia.
Pada
19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir
Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada
waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde
Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai
pemberontakan PKI Madiun.
E.
Pelaksanaan G30S/PKI
Pelaksanaan
G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa
orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin
oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.Tahunya Aidit
akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan
PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah
Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi
Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria
yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri
dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10
kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada
namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA,
melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar
Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi
sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya. Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga
dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat
di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga
terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai
bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini
membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
F.
Isu
Dewan Jenderal
Pada
saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal, yang mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini,
Soekarno memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili. Namun secara tak terduga, dalam operasi penangkapan tersebut
para jenderal tersebut terbunuh.
G.
Isu
Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew
Gilchrist. Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen
ini oleh beberapa pihak dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, dokumen ini menyebutkan adanya "Teman Tentara
Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah
dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberi daftar
nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".
H.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Menurut
isu yang beredar, Soeharto saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.
I.
Korban
1.
Letjen TNI Ahmad Yani
(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
2.
Mayjen TNI Raden
Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang
Administrasi)
3.
Mayjen TNI Mas
Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD
bidang Perencanaan dan Pembinaan)
4.
Mayjen TNI Siswondo
Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang
Intelijen)
5.
Brigjen TNI Donald
Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD
bidang Logistik)
6.
Brigjen TNI Sutoyo
Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat)
7.
Jenderal TNI Abdul
Harris Nasution yang menjadi sasaran utama,
selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi
korban:
8.
Bripka Karel Satsuin
Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana
Menteri II dr.J.Leimena)
9.
Kolonel Katamso
Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
10. Letkol
Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem
072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para
korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
J.
Pasca
Kejadian
Pasca
pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor
Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para
perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh
Letkol Untung Sutopo.
Di
Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala
Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965.
Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit
menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak"
dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan
para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral
PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk
mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan
bersenjata.
K.
Penumpasan G30S/PKI
Penumpasan
G30S/PKI 1965 Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan
pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI,
semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani
Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa
dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan
Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah
orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif
menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga
juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam
bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa
Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir
1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu
militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang
terketahui dan melakukan pembantaian keji.
L.
Peringatan
Monumen
Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah
kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai
kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan
hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada
29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk
mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di
berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam
rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica
Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan
1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasuke, dan Putmainah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peristiwa G30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa
pemberontakan yang dilakukan PKI, bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di
Indonesia. Pemberontakan ini menimbulkan banyak korban, dan banyak korban
berasal dari para Jendral AD. Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak
laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya
laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang
berazaskan kepada pancasila dan UUD 1945. Peristiwa G30S/PKI 1965
yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif dalam kehidupan sosial
dan politik masyarakat Indonesia yaitu Dampak politik dan Dampak Ekonomi.
Setelah supersemar diumumkan, perjalanan politik di Indonesia mengalami masa
transisi. Kepemimpinan Soekarno kehilangan supermasinya. MPRS kemudian meminta Presiden
Soekarno untuk mempertanggung jawabkan hasil pemerintahannya, terutama
berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden Soekarno
memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya, khususnya mengenai masalah yang
menyangkut peristiwa G30S/PKI.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Drs.
C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta
:Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar